MOJOWARNO, SeputarJombang.com – Pagi itu, langit Mojowarno di Jombang masih diselimuti kabut tipis ketika satu per satu warga mulai memadati halaman Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno. Jam belum menunjukkan pukul enam, namun semangat ribuan jemaat sudah membuncah hari itu, Minggu (11/5/2025).
Bukan karena apa, melainkan momen yang dinanti dalam tradisi tahunan telah datang. Yakni tadisi Riyaya Unduh-Unduh namanya.
Bukan sekadar seremoni, Riyaya Unduh-Unduh adalah wujud syukur yang telah diwariskan turun-temurun sejak 1930 silam. Di tengah aroma khas hasil bumi dan lantunan kidung pujian, tradisi ini mengajak siapa pun yang hadir untuk menyelami makna mendalam tentang iman, kerja keras, dan toleransi.
Dari arah utara gereja, arak-arakan mulai bergerak. Wajah-wajah ceria tampak di antara barisan warga yang membawa aneka hasil bumi seperti pisang, jagung, cabai, bahkan hewan ternak yang dihias meriah. Kelompok-kelompok jemaat yang disebut blok turut serta, lengkap dengan iring-iringan musik tradisional.
Gereja yang telah berdiri kokoh sejak abad ke-19 itu seolah menjadi saksi bisu kebersamaan umat di tengah zaman yang terus berubah.
“Ini bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari iman kami. Kami ingin mengucap syukur atas penyertaan Tuhan selama musim tanam hingga panen,” tutur Rudi Prastiyo Adi, Ketua Panitia Riyaya Unduh-Unduh tahun ini.
Tak hanya jemaat Kristen yang hadir. Sejumlah warga Muslim pun turut membantu dalam kelancaran acara. Bagi mereka, tradisi ini adalah milik bersama, bagian dari warisan budaya desa yang mempererat persaudaraan lintas iman.
Setelah arak-arakan, prosesi dilanjutkan dengan ibadah bersama di dalam gereja. Suasana hening dan khidmat menyelimuti ruangan. Usai ibadah, seluruh hasil bumi yang dibawa akan dilelang. Hasilnya? Akan digunakan untuk kegiatan pelayanan serta mendukung kesejahteraan jemaat.
“Ini bentuk pengelolaan berkat yang kami terima, supaya bisa kembali bermanfaat untuk banyak orang,” ujar Rudi lagi.
Riyaya Unduh-Unduh sendiri berakar dari budaya agraris masyarakat Jawa. Tradisi ini mulai dikembangkan sejak GKJW Mojowarno menjadi pusat penginjilan Protestan oleh misionaris Belanda. Meski berawal dari pengaruh luar, Riyaya Unduh-Unduh kini telah menjelma menjadi identitas lokal yang hidup dalam denyut masyarakat.
Salah satu pengunjung, Petsi Mandala (35), mengaku terkesan dengan keseluruhan rangkaian acara. “Saya penasaran, dan ternyata suasananya meriah dan hangat. Tradisinya unik dan penuh makna,” katanya.
Perlu diketahui bahwa di tengah modernisasi dan arus budaya global, Riyaya Unduh-Unduh tetap bertahan, tak sekadar sebagai ritual keagamaan. Melainkan juga sebagai perekat sosial dan pengingat akan pentingnya syukur dalam kehidupan.(*)
Penulis : Dandy Angga












