Menjelang Bulan Suro, Jasa Cuci Pusaka di Jombang Banjir Orderan

Sudahri dan Sujihni, saat mencuci pusaka. (Foto : Dandy Angga / SeputarJombang.com)

SeputarJombang.com – Bagi sebagian orang, bulan Suro hanyalah penanda awal kalender Jawa. Namun tidak bagi Sudahri (55) dan Sujini (52), pasangan suami istri asal Kecamatan Mojoagung, Jombang.

Bulan ini justru menjadi momen penuh keberkahan. Di tengah hiruk-pikuk Pasar Mojotrisno, mereka mengelola satu-satunya jasa pencucian dan pewarangan pusaka yang masih bertahan dan kini tengah kebanjiran pesanan.

“Biasanya sehari hanya cuci sekitar 10 pusaka. Tapi kalau masuk bulan Suro, bisa sampai 50-an. Hari ini saja ada 52 pusaka dari berbagai kota,” ujar Sudahri saat ditemui IDN Times, Senin (23/6/2025) siang.

Pelanggan mereka datang dari berbagai daerah, mulai dari Jombang, Mojokerto, hingga Surabaya. Semua datang dengan satu maksud: membersihkan dan mewarangi pusaka leluhur mereka agar kembali bercahaya baik secara estetika maupun spiritual.

Makna Bulan Suro dan Tradisi Pusaka

Proses pengeringan pusaka yang habis di cuci. (Foto : Dandy Angga / SeputarJombang.com)

Bulan Suro bagi sebagian masyarakat Jawa memiliki makna sakral. Banyak yang meyakini bahwa merawat dan “memandikan” pusaka di bulan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur. Sekaligus, sebagai sarana membersihkan energi negatif yang menempel pada benda-benda bertuah itu.

Menurut Sudahri, pusaka tak sekadar benda mati. “Ada energi yang harus dijaga, dan bulan Suro adalah waktu yang baik untuk menyelaraskannya,” ujarnya. Ia pun menuturkan bahwa sebagian pelanggannya bahkan memilih tanggal-tanggal tertentu yang dianggap ‘baik’ untuk melakukan prosesi ini.

Pelestarian Budaya Lewat Warangi

Sujihni saat mengecek kondisi pusaka.(Foto : Dandy Angga / SeputarJombang.com)

Tak banyak yang tahu, pekerjaan mencuci pusaka bukan perkara mudah. Prosesnya penuh ketelitian, dan bagi Sudahri, juga penuh tanggung jawab budaya. Ia dan istrinya telah melakoni usaha ini lebih dari 20 tahun, turun-temurun dari keluarga.

Proses pencucian dimulai dengan membasuh pusaka menggunakan air bersih. Kemudian bilah pusaka digosok memakai larutan sari jeruk nipis yang dicampur sabun colek. Setelah itu direndam dalam air kelapa agar netral, dan dijemur untuk dikeringkan.

Barulah tahap terakhir dilakukan yakni, pewarangan. Prosesnya dengan merendam bilah dalam cairan khusus warisan leluhur. Cairan itu dipercaya dapat mengeluarkan pamor (corak unik pada keris) dan melindungi bilah dari karat.

“Ramuan warangan ini bukan dari toko, ini resep turun-temurun dari nenek moyang saya,” ungkap Sudahri, sembari memeriksa sebilah keris berlapis pamor seperti kilauan perak.

Omzet Meningkat, Sehari Capai Jutaan

Pemilik jasa cuci warangi pusaka.(Foto : Dandy Angga / SeputarJombang.com)

Dari tarif yang hanya berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per pusaka, omzet Sudahri bisa menyentuh angka Rp 2,5 juta dalam sehari selama bulan Suro. Meski demikian, uang bukanlah segalanya.

“Yang lebih penting, saya bisa ikut melestarikan tradisi dan membantu orang-orang menjaga warisan leluhur mereka. Itu yang membuat saya bertahan,” katanya dengan penuh senyuman.(*)

Penulis : Dandy Angga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *